Rabu, 26 Oktober 2011

DEFISIT AIR (GEN LEA)   
  
                                         BY : DECE ELISABETH SAHERTIAN

Air merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Pada kondisi tertentu tanaman dapat mengalami defisit air, akibat transpirasi yang berlebihan atau kurangnya ketersediaan air di daerah perakaran. Untuk mempertahankan diri dari kondisi defisit air tersebut tanaman memiliki berbagai mekanisme, salah satu adalah mekanisme secara fisiologi. Tanaman yang mengalami defisit air akan menghasilkan produk-produk yang merupakan respons tanaman terhadap kondisi stress tersebut. Produk yang dihasilkan merupakan hasil dari ekspresi gen yang mengalami induksi sebagai respons terhadap signal defisit air yang diterimanya. Produk yang dihasilkan gen diklasifikasikan ke dalam 2 grup yaitu: grup protein yang berfungsi dalam toleransi terhadap stress dan grup protein yang berhubungan dengan pengaturan tranduksi signal dan ekspresi gen sebagai respons terhadap stress.

Ekspresi Gen Selama Periode Defisit Air
Sejumlah respons terhadap defisit air dikontrol oleh gen dengan berbagai fungsi yang berbeda. Ketika air hilang dari sel, proses pengaturan dimulai dari metabolisme sel ke kondisi seluler baru. Pada waktu yang bersamaan, penghambatan pertumbuhan, dan perubahan lintasan perkembangan akan menghasilkan perubahan ekspresi gen. Beberapa gen yang diinduksi oleh defisit air mengkode produk gen yang diduga berfungsi untuk melindungi fungsi sel.





Stress air mengakibatkan munculnya suatu signal. Signal tersebut diterima oleh suatu penerima signal (signal perception) yang selanjutnya ditranduksi oleh berbagai faktor seperti ABA, Ca+ dan IP3 signal yang ditransduksikan tersebut diterima oleh gen sehingga gen terinduksi dan menghasilkan berbagai produk. Produk yang dihasilkan gen diklasifikasikan ke dalam 2 grup yaitu :

1.    Grup protein yang berfungsi dalam toleransi terhadap stress yaitu : (1) Protein yang memiliki celah  saluran air yang berhubungan dengan perpindahan air melalui membrane, (2) Enzim yang dibutuhkan dalam biosintesis osmolit (prolin, betain, dan sukrosa), (3) Protein yang berfungsi melindungi makromolekul dan membran (LEA protein, osmotin, chaperon, dan protein pengikat mRNA), (4) Protease untuk perombakan protein (thiol proteases, clp proteases, ubiquitin), (5) Detoxifikase enzim (glutathione S-superoxide dismutase, ascorbat peroksidase)

2.   Grup protein yang berhubungan dengan pengaturan transduksi signal dan ekspresi gen sebagai respons terhadap stress yaitu protein kinase, faktor transkripsi, PLC, dan protein 14-3-3.
Beberapa gen yang diinduksi oleh defisit air mengkode produk gen yang diduga berfungsi untuk melindungi fungsi sel. Secara garis besar ada dua fungsi grup protein yang berfungsi dalam toleransi terhadap stress yaitu :

a.    Proteksi Struktur Sel
Sejumlah produk gen yang dihasilkan diduga untuk melindungi struktur sel dari efek kehilangan air. Gen-gen ini sering disebut LEA yang merupakan gen yang pertama kali dieskpresikan selama permatangan dan fase pengeringan dalam perkembangan biji. Gen-gen ini diekspresikan pada jaringan vegetatif selama periode kehilangan air akibat defisit air, stress osmotis, dan stress suhu rendah. Paling sedikit ada 6 kelompok gen LEA yang telah teridentifikasi, berdasarkan rangkaian asam amino yang mirip pada beberapa spesies. Mayoritas produk LEA gen adalah hidropilik predominan, komposisi asam amino umumnya tidak terdapat Cys dan Trp dan terdapat di sitoplasma. Rangkaian asam amino individual dan protein struktur yang masing-masing grup LEA protein diduga mempunyai fungsi spesifik. Fungsi yang diperkirakan termasuk mengendalikan ion asing, proteksi protein, proteksi membran, dan renaturasi protein.

Grup protein LEA (family D-7 atau grup 3) diduga mempunyai peranan dalam mengendalikan ion yang terkonsentrasi selama dehidrasi sel. Protein ini memiliki pola 11-mer asam amino degan rangkaian umum TAQAAKEKAGE yang diulang sebanyak 13 kali. Pola ini diduga membentuk amphiphilic a-helix. Permukaan hidrofobik penting dalam pembentukan homodimer dan permukaan luar yang mengendalikan ion yang konsentrasinya meningkat selama defisit air. Grup LEA protein family D-29 atau grup 5 juga diduga mengendalikan ion selama kehilangan air. Family D-19 atau grup 1 diduga meningkatkan kapasitas mengikat air. Protein-protein ini memiliki persentase asam amino Glysin.

Stress air menginduksi aktivitas gen yang berguna untuk melindungi struktur sel. Protein-protein yang disintesis sebagai akibat ekspresi gen mempnnyai fungsi penting pada kondisi defisit tersebut ekspresi gen berbeda akan menyebabkan perbedaan toleransi dalam spesies. Fungsi produk gen ini akan dibutuhkan selama stress berat, karena bila air yang cukup tersedia hilang mengakibatkan kerusakan sel.

b.   Penyesuaian Osmotis (Osmotic Adjustment)
Mempertahankam potensial air total selama defisit air dapat dicapai melalui osmotic adjustment. Reduksi potensial air sel di bawah potensial air eksternal dihasilkan dari penurunan potensial osmotis, menyebabkan air pindah ke dalam sel. Potensial osmosis da dalam sel lebih rendah dengan cara mengakumulasi osmolit (solut yang cocok) dalam sitoplasma. Gen-gen yang mengkode enzim untuk tahap-tahap ini untuk pembentukan osmolit telah diidentifikasi dalam beberapa kasus menunjukkan bahwa gen-gen tersebut diinduksi oleh defisit air.

Gen mempunyai peranan dalam proteksi dan osmotic adjustment. Gen yang berhubungan dalam 2 tipe mekanisme degradasi protein yaitu protease dan ubiquitin, dirangsang oleh stress air. Produk gen ini berhubungan dengan degradasi protein yang mengalami denaturasi selama sel kehilangan air. Sebagai tambahan gen yang berpotensial dalam mengatur dan memberi signal selama periode stress air seperti protein kinase, protein inti dan protein pengikat RNA. 

Tanaman jagung yang mengalami stress air selama 10 hari menunjukkan perubahan protein dalam daun, yaitu 78 perubahan protein dari 413 protein menunjukkan variasi kuantitatif yang nyata, dengan 38 jenis menunjukkan ekspresi yang berbeda dalam 2 genotipe, 11 protein meningkat 1.3-5 kali pada tanaman stress, dan 8 protein ditemui hanya pada tanaman stress.

DAFTAR PUSTAKA
Anominous. 2010. Stress Air Pada Tanaman Jagung. id.wikipedia.org/wiki/jagung. (3 Desember 2010)
Gie_ana. 2008. Fisiologi Cekaman. www.scribd.com. (3 desember 2010)
Nurhayati, Rizman & Hanifah. 2006. Ekspresi Gen Defisit Air. www.repository.usu.ac.id/bitstream/ ekspresi/gen/defisit/air. (3 Desember 2010)
Salisbury, F.B. & C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan, Jilid 3. Penerbit ITB. Bandung.

07/12/2010

Summary 2

KONSERVASI PADA TINGKAT POPULASI DAN SPESIES

Mempertahankan Keanekaragaman Genetik dan Arena Lingkungan untuk Evolusi adalah Suatu Tujuan Akhir

By : Dece Elisabeth Sahertian
Keanekaragaman Genetik
Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati adalah pusat dari biologi konservasi, tetapi frase keanekaragaman hayati (biodiversitas) dapat mempunyai arti yang berbeda. Keanekaragaman hayati dapat digolongkan menjadi tiga tingkat: (1) Keanekaragaman spesies. Semua spesies di bumi, termasuk bakteri dan protista serta spesies dari Kingdom bersel banyak (tumbuhan, jamur, hewan, yang bersel banyak atau multiseluler), (2) Keanekaragaman genetik. Variasi genetika dalam dalam satu spesies, baik di antara populasi-populasi yang berpisah secara geografis, maupun di antara individu-individu dalam satu populasi, (3) Keanekaragaman komunitas. Komunitas biologi yang berbeda serta asosiasinya dengan lingkungan fisik (ekosistem) masing-masing (Indrawan dkk, 2007).

Ketiga tingkatan keanekaragaman hayati itu diperlukan untuk kelanjutan kelangsungan hidup di bumi dan penting bagi manusia. Keanekaragaman spesies menggambarkan seluruh cakupan adaptasi ekologi, serta menggambarkan evolusi spesies terhadap lingkungan tertentu. Keanekaragaman genetik memungkinkan spesies untuk memelihara daya reproduksinya, tahan penyakit dan beradaptasi terhadap perubahan kondisi. Pada tumbuhan dan hewan yang telah didomestikasi (dibudidayakan), keanekaragaman genetik memberikan nilai khusus bagi program pengembangbiakan yang diperlukan, khususnya memperbaiki dan menyokong spesies pertanian modern yang tahan penyakit. Tingkat keanekaragaman komunitas merupakan tanggapan bersama oleh spesies terhadap kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Komunitas biologi yang khas dan unik, baik di padang pasir, padang rumput, lahan basah, ataupun hutan telah mendukung ekosistem untuk berfungsi secara benar dan berkelanjutan (Indrawan dkk, 2007).  

Konservasi Sebagai Solusi
Tujuan jangka panjang konservasi keanekaragaman hayati harus dapat menjamin kelestarian fungsi ekosistem esensial sebagai penyangga kehidupan terutama di luar kawasan konservasi. Pada tingkat spesies, konservasi dalam jangka panjang bertujuan untuk mencegah terjadinya kepunahan jenis yang diakibatkan oleh penyebab utama terancamnya jenis dari kepunahan yaitu kerusakan habitat dan pemanfaatan (termasuk perdagangan) yang tidak terkendali. Bagi jenis-jenis yang populasinya sudah dalam kondisi kritis maka pengelolaannya harus diarahkan pada pemulihan populasi (population recovery) dengan berbagai cara termasuk perbaikan habitat, rehabilitasi satwa hasil sitaan serta penangkaran untuk dilepas kembali ke alam (conservation breeding). Pada tingkat genetik, konservasi keanekaragaman genetik diarahkan pada konservasi in-situ di dalam dan di luar konservasi maupun konservasi eks-situ. Arah pengelolaan sumber daya genetik di masa depan adalah pemanfaatan sumber daya genetik untuk mendukung pengembangan budidaya tanaman maupun ternak melalui pengembangan kultivar-kultivar unggul. 

Konservasi in-situ adalah kondisi sumber daya genetik yang terdapat di dalam ekosistem dan habitat alami serta pemeliharaan dan pemulihan populasi jenis-jenis berdaya hidup dalam lingkungan alaminya, dan dalam hal jenis-jenis terdomestikasi atau budidaya, di dalam lingkungan tempat sifat-sifat khususnya berkembang. Konservasi in-situ biasanya berwujud cagar alam. Salah satu contoh konservasi in-situ di Indonesia adalah Taman Nasional Ujung Kulon. Taman nasional ini dinilai WWF telah berhasil melakukan konservasi in-situ karena dapat mengontrol jumlah populasi badak jawa. Menurut WWF (2006), populasi badak di Jawa masih bisa terus berkembang. Adanya temuan foto pada Juli 2006 yang menggambarkan induk badak bersama anaknya memberikan harapan bahwa populasinya masih terus berkembang. Gambar-gambar tersebut tertangkap oleh salah satu kamera intai dari total 26 kamera intai yang dipasang di Taman Nasional Ujung Kulon. Temuan gambar anak Badak Jawa tersebut - didentifikasi dari foto kamera intai dan ukuran jejak kaki - memberikan harapan baru dan dorongan untuk upaya konservasi bagi mamalia besar ini. Kita meyakini bahwa ini waktu yang tepat untuk menggiatkan kembali upaya-upaya kita untuk menyelamatkan masa depan Badak Jawa. 

Konservasi eks-situ dapat juga dilakukan secara in-vitro dengan memanfaatkan teknik kultur jaringan.Teknik ini digunakan untuk penyimpanan plasma nutfah dalam jangka panjang dalam jumlah sampai dengan 10 botol setiap aksesi. Hal yang perlu diperhatikan dalam konservasi eks-situ adalah rejuvenasi (peremajaan). Pada konservasi dengan penyimpanan benih pada jangka waktu tertentu, maka rejuvenasi diperlukan terhadap benih-benih yang telah mengalami penurunan vitabilitas. Rejuvenasi dapat dilakukan secara bergilir atau berkala 2-3 tahun sekali, tergantung kepada komoditas dan keadaan. Tentunya rejuvenasi dimaksudkan untuk memperoleh benih yang baru. Pada pelestarian tanaman semusim di lapang (yang diperbanyak secara vegetatif; misalnya ubijalar dan ubikayu), maka rejuvenasi dilakukan segera setelah panen ( Wibowo, 2009).

Penyebab Konflik Manusia – Satwa Liar
Permasalahan gangguan terhadap lingkungan dan kerusakan sumber daya alam telah dan akan terus lahir seiring dengan pelaksanaan pembangunan. Aktivitas pembangunan yang dilakukan akan terus membutuhkan lahan dan sumberdaya yang mengakibatkan semakin banyak hutan-hutan alam yang dikonversi. Selain itu kemiskinan dan kebutuhan untuk memperbaiki tingkat perekonomian masyarakat juga akan semakin meningkatkan kerusakan hutan. Hutan yang rusak akan mengakibatkan bencana bagi manusia baik secara langsung ataupun tidak langsung. Konversi hutan  untuk keperluan ekonomi manusia telah mendorong terjadinya konflik antara manusia dan satwa. Satwa mengalami penurunan populasi yang sangat signifikan akibat aktivitas manusia. Berikut ini diuraikan beberapa penyebab konflik manusia dan satwa.

Deforestasi dan degradasi hutan yang sangat besar akan mengancam terhadap keanekaragaman hayati yang ada. Deforestasi dan degradasi akan menyebabkan hilangnya hutan atau terpotong-potongnya hutan menjadi bagian-bagian kecil dan terpisah. Alih fungsi hutan banyak digunakan untuk perkebunan, pertambangan, hutan tanaman industri, pemukiman, industri, dll. Investigasi Eyes on the Forest (2008) melaporkan bahwa pembuatan jalan logging oleh Asia Pulp & Paper (APP) sepanjang 45 km yang membelah hutan gambut di Senepis Propinsi Riau  mengakibatkan penyusutan luas hutan dan memicu peningkatan konflik manusia-harimau di kawasan tersebut. Pembuatan jalan untuk pengangkutan sawit oleh PT. Alno Agro Utama di kawasan konservasi gajah ditengarai akan mengganggu upaya konservasi gajah. Pembukaan jalan tersebut akan memudahkan kegiatan illegal hunting terhadap gajah dan harimau sumatera. Tahun 1989 jumlah populasi gajah sebanyak 475 ekor dan sekarang hanya tertinggal 100 ekor, sedangkan yang dipelihara pusat pelatihan gajah sebanyak 30 ekor yang 18 diantaranya sudah mati akibat perburuan. Data periode Desember-Juni 2009 setidaknya sudah 12 jerat harimau yang berhasil ditemukan di kawasan PLG yang berlokasi di dekat jalan tersebut. Pembuatan jalan di areal hutan juga akan membatasi ruang gerak satwa liar, sehingga akan membatasi satwa dalam mencari mangsa. Perusakan habitat dan perburuan hewan mangsa telah diketahui sebagai faktor utama yang menyebabkan turunnya jumlah harimau secara dramatis di Asia.

Perburuan ilegal (illegal hunting) merupakan salah satu ancaman terhadap kelestarian satwa liar. Pada periode 1970 – 1993 tercatat sebanyak 3.994 kg tulang harimau sumatera diekspor dari Indonesia ke Korea Selatan. Bagian tubuh harimau yang diperjualbelikan terutama kulit dan tulang untuk keperluan obat-obatan tradisional bahkan untuk keperluan supranatural (Mills & Jackson, 1994 dalam Siregar, 2010). Selain bagian tubuhnya, harimau sumatera juga diperjualbelikan sebagai hewan peliharaan dan simbol status. Perdagangan satwa liar seperti macan dahan yang digunakan untuk kebutuhan  budaya dan ritual dan beruang madu untuk obat berkhasiat. Pembukaan infrastruktur jalan turut mendorong semakin terbukanya akses terhadap hutan bagi para pemburu liar. Selain itu tingginya demand satwa liar juga akan semakin meningkatkan kegiatan perburuan dan perdagangan satwa illegal (Shiel et al.,2003 dalam Siregar, 2010).

Banyaknya kasus masuknya satwa liar seperti gajah dan harimau yang masuk ke pemukiman penduduk akan meningkatkan konflik terbuka. Banyaknya kerusakan yang ditimbulkan oleh satwa liar terhadap harta milik masyarakat bakhan jiwa akan semakin menimbulkan dendam masyarakat untuk membunuh satwa liar. Kondisi ini akan semakin membahayakan satwa liar.

Kemiskinan masyarakat di sekitar hutan telah mendorong terjadinya perambahan dan perusakan hutan berupa pembukaan hutan untuk keperluan pemukiman, perladangan, dan perkebunan. Kerusakan dan fragmentasi hutan yang merupakan habitat satwa akan mengakibatkan gangguan terhadap kelestarian satwa. Selain itu masyarakat juga menggantungkan hidup pada sumberdaya hutan. Secara tradisional masyarakat memburu satwa yang merupakan mangsa harimau untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Kemiskinan mendorong masyarakat memburu satwa liar untuk kebutuhan makannya dan juga untuk dijual. Sebagian besar masyarkat asli di Kalimantan mengandalkan asupan proteinnya dari berburu satwa liar dan terutama vertebtara. Selain itu juga perburuan satwa-satwa kecil yang merupakan mangsa satwa liar seperti harimau sangat berpengaruh terhadap kelestarian harimau. Karena harimau sangat tergantung dengan kelimpahan mangsanya (Puri,1997 dalam Siregar, 2010).

Beberapa satwa liar seperti harimau dalam struktur piramida makanan merupakan top predator. Satwa predator ini setiap hari harus mengkonsumsi 5 – 6 kg daging yang sebagian besar (75%) terdiri atas hewan-hewan mangsa dari golongan rusa.  Pakan utama harimau sumatera adalah rusa sambar (Cervus unicolor) dan babi hutan (Sus scorfa). Dalam keadaan tertentu harimau sumatera juga memangsa berbagai alternatif mangsa seperti kijang (Muntiacus muntjac), kancil (Tragulus sp), beruk (Macaca nemestrina), landak (Hystrix brachyura), trenggiling (Manis javanica), beruang madu (Helarctos malayanus), dan kuau raja (Argusianus argus). Tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan juga akan mengakibatkan penurunan mangsa harimau sumatera. Semakin sedikitnya mangsa juga akan mengakibatkan penurunan populasi harimau sumatera. Dengan semakin sedikitnya mangsa, maka harimau akan semakin jauh mencari mangsa dan akan semakin besar peluang konflik dengan manusia (Wibowo, 2009).

Konservasi Sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Satwa Liar
Untuk mengendalikan konflik manusia-satwa, maka konservasi merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan kelestarian satwa, khususnya gajah dan harimau. Karena kedua satwa tersebut dikategorikan oleh lembaga konservasi International Union Conservation Nature (IUCN) sebagai satwa yang Sangat Kritis Terancam Punah (critically endangered). Selain itu kedua satwa itu juga termasuk dalam CITES Appendix I yang artinya pelarangan terhadap perdagangan internasional komersial. Beberapa upaya tersebut adalah sebagai berikut : (1) Membangun dan meningkatkan koneksitas antara habitat-habitat utama gajah dan harimau melalui pengembangan koridor dalam rangka memperluas daerah bagi harimau sumatera untuk menjelajah, (2) Membina kekayaan genetik unit-unit populasi gajah dan harimau, terutama pada habitat yang kritis untuk menghindari erosi ragam genetik melalui pengembangan restocking populasi dan translokasi, (3) Mengembangkan upaya pengelolaan mitigasi konflik untuk menyelamatkan gajah dan harimau yang bermasalah dengan masyarakat melalui relokasi, translokasi, dan penetapan kawasan pelepasliaran alami, (4) Meningkatkan program pemantauan terhadap populasi, ekologi, dan habitat gajah dan harimau dengan memperkuat dasar hukum dan kapasitas aparatur yang berwenang, (5) Meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dengan melaksanakan berbagai program peningkatan kapasitas tim konservasi gajah dan harimau baik yang dikelola oleh pemerintah, lembaga non pemerintah, maupun masyarakat, (6) Memperkuat infrastrukur instansi yang melakukan pelaksanaan dan pemantauan konservasi harimau. Selain itu juga dilakukan penyusunan rencana pengelolaan konservasi pada setiap bentang alam harimau sumatera sesuai dengan karakteristik dan potensi di lapangan, (7) Mengembangkan pusat informasi terpadu tentang konservasi gajah dan harimau yang dapat diakses secara luas oleh masyarakat, (8) Membangun jaringan komunikasi dan kemitraan untuk meningkatkan kerjasama konservasi di semua tingkatan baik lokal, nasional, maupun internasional, (9) Mengembangkan pengawasan terpadu dan intensif antara pemerintah, lembaga non pemerintah, dan masyarakat terhadap kegiatan konservasi. Selain itu juga dilakukan pendidikan dan penyadartahuan masyarakat secara terpadu dan berkesinambungan tentang pentingnya konservasi gajah dan harimau, (10) Membangun mekanisme pendanaan yang berkelanjutan dalam mendukung kegiatan konservasi gajah dan harimau (Wibowo, 2009).

Daftar Pustaka
Indrawan, M., R. B. Primack & J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi, Edisi Revisi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Siregar, P. 2010. Konservasi : Sebagai Upaya Mencegah Konflik Manusia – Satwa.      www. wordpress. com. (11 Desember 2010)

Wibowo, P. H. 2009. Populasi Manusia Dan Pengendalian Untuk Kesejahteraan Masyarakat. www. yahoo.com. (11 Desember 2010).

 13/12/2010

Summary

Masagca, J. T. 2009. Feeding Ecology of Tree Mangrove Sesarmid Crabs.
Biotropia The Southeast Asia Journal of Tropical Biology 16(1): 2-3.
By : Dece Elisabeth Sahertian 
 
BAHAN DAN METODE
Lokasi Penelitian
            Lokasi pengumpulan dan pengamatan dilaksanakan pada : I. daerah mangrove Palsabangon di Pagbilao, Quezon, Filipina ; II. Terusan Maqueda di bagian Bicol, daerah Mangrove di teluk Agojo, San Andres dan daerah Mangrove Palnab-Pajo, Catanduanes, Filipina.

Ketergantungan memperoleh makanan dari lingkungan hutan mangrove, kemampuan  memanjat hewan arboreal dan perilaku menggali lubang.

Sampel kepiting mangrove dikumpulkan dengan tangan dan ambai kemudian ditempatkan pada perangkap. Pengumpulan dilakukan pada pagi dan malam hari dari sepanjang sungai daerah mangrove, anak sungai, teluk, dan daerah penyangga atau garis pantai dan pengumpulan dilakukan dari bulan Juni 2005 sampai Februari 2006.

Penelitian ekologis tentang perilaku memperoleh makanan dilakukan pada plot terpilih di Rawa Mangrove Palnab-Pajo, Catanduanes selama bulan Oktober dan Desember 2005, sedangkan di daerah mangrove Palsabangon di Pagbilao, Quezon penelitian telah berakhir dari bulan Januari sampai Februari 2006. Penelitian ekologis sesarmid yang dilaksanakan pada setiap daerah mangrove mengikuti metode Gillikin (2000). Pada hutan mangrove terpilih,  kehadiran atau ketidakhadiran jenis kepiting ditentukan dengan pengamatan visual pada plot dengan ukuran diameter 10 m sepanjang transek yang tegak lurus garis pantai, yang mencakup keseluruhan luas hutan. Penelitian ini meneliti kurang lebih 10 plot sepanjang 100 sampai 200 m panjang transek di dalam daerah penelitian.

Kemunculan dan pemunculan kembali sesarmid

Selama bekerja di lapangan, masing-masing plot awalnya diamati dengan menggunakan binokuler dari jauh kira-kira 6 – 20 meter dan jenis kepiting yang dikenal kemudian dicatat dan dibuat laporan. setelah itu, pengamatan dengan mata biasa dilakukan dengan bantuan dua orang peneliti yang dikerjakan pada sisi berlawanan dari plot kira-kira 30 meter, mengikuti Hartnoll et al. (2002) dan Skov et al. (2002). Sebagai modifikasi, peneliti dan asisten lapangan telah diposisikan pada dua perahu yang terpisah ketika plot diamati. Peneliti mendekati plot pada daerah penelitian dan suatu gangguan telah dibuat oleh sesarmid (tiap lumpur, ranting atau cabang tumbuhan mangrove) dijadikan tempat berlindung di dalam liang atau lubang dan daun, kayu dan ranting melindungi lubang tersebut. Sewaktu individu pertama sesarmid akan muncul atau muncul kembali maka, akan dilaporkan. Pengamatan ini dilakukan sepanjang hari pada air surut. Siklus harian dan bulanan tidak digunakan dalam pengamatan. Prosedur tersebut adalah modifikasi yang dikerjakan Gillikin (2000), Harrtnoll et al. (2002) dan Skov et al. (2002).

06/12/2010

Kritikal Analisis Biologi Lanjut

SERBUK SARI (POLEN) MENJADI PEMBAWA SEL-SEL SPERMA PADA TUMBUHAN BERBIJI
Bab 30  Bagian 2
by : Dece Elisabeth Sahertian

Masalah yang harus dianalisis adalah pada pernyataan :

1.    Mikrospora berkembang menjadi butiran serbuk sari, yang jika matang menjadi gametofit jantan tumbuhan berbiji (hal 172, alinea pertama, baris 3-5).

Menurut Hidayat (1995), peristiwa mikrosporogenesis terjadi pada antera yang sedang berkembang, mikrosporangium terdiri dari sel sporogen yang ada di dalam rongga kantung polen dan sejumlah lapisan khusus di sebelah luarnya. Jaringan sporogen juga berasal dari sel pariental primer yang ditemukan pada awal pembentukan anther. Sel sporogen masih dapat bermitosis menghasilkan lebih banyak sel sporogen atau langsung menjadi sel induk mikrospora. Meiosis terjadi dalam sel induk mikrospora, menghasilkan tetrad yang terdiri dari empat sel mikrospora yang haploid. Di stadium ini mikrospora biasanya berpisah. Sebelum lepasnya polen dari anther, mikrospora mengalami mitosis, menghasilkan sel vegetatif dan sel generatif yang tidak sama besar. Inti sel generatif membelah secara mitosis dan menghasilkan 2 gamet jantan (2 sel sperma). Jadi, hasil mikrosporogenesis adalah mikrospora atau butir serbuk sari (polen).

Berdasarkan pernyataan di atas, mikrospora bukannya berkembang menjadi butiran serbuk sari namun, mikrospora adalah butiran serbuk sari yang merupakan bentuk awal perkembangan gametofit jantan. Mikrospora ini akan mengalami mitosis menghasilkan sel vegetatif  dan sel generatif. Dan kemudian sel generatif menghasilkan gametofit jantan.

Pada Angiosperma, waktu tumbuhan sedang berbunga maka, dihasilkan mikrospora dan megaspora. Mikrospora berkembang menjadi gametofit jantan yang memancar sebagai serbuk sari, sedangkan megaspora berkembang menjadi gametofit betina yang merupakan kantung embrio yang tetap berada dalam ovarium, dan merupakan bagian dari bakal biji. Pada Gimnosperma, mikrospora atau polen menghasilkan gametofit jantan, sedang megaspora yang tunggal menghasilkan gametofit betina, dan pada gametofit ini terbentuk arkegonia. Keduanya dihasilkan di dalam sporangia yang terdapat pada sporofil yang tersusun spiral pada aksis strobili ( Nasution, 2009). 

2.    Suatu butiran serbuk sari atau gametofit jantan, jatuh di sekitar bakal biji. (Hal. 173, alinea pertama, baris 8-9) 

Menurut Elisa (2004) dalam Nasution (2009), penyerbukan merupakan pengangkutan serbuk sari (polen) dari kepala sari (anther) ke putik (pistillum) atau peristiwa jatuhnya serbuk sari di atas kepala putik. Peristiwa ini merupakan tahap awal dari proses reproduksi. 

 Penyerbukan atau persarian adalah suatu peristiwa jatuhnya serbuk sari ke kepala putik untuk tumbuhan biji tertutup, atau jatuhnya serbuk sari langsung pada bakal biji untuk tumbuhan biji terbuka. Penyerbukan yang sukses akan diikuti segera dengan tumbuhnya buluh serbuk yang memasuki saluran putik menuju bakal biji. Di bakal biji terjadi peristiwa penting berikutnya yaitu pembuahan

Dari beberapa pernyataan atau pengertian penyerbukan di atas, maka suatu butiran serbuk sari bukan jatuh di sekitar bakal biji namun, pada kepala putik dan / atau langsung pada bakal biji. Pada Gimnosperma serbuk sari dapat langsung mencapai bakal biji, namun pada Angiosperma bakal biji tertutup oleh daun buah (karpel) sehingga serbuk sari harus menembus jaringan daun buah tersebut sebelum mencapai bakal biji. (Loveless, 1989). Kemudian yang terjadi pada serbuk sari setelah penyerbukan adalah eksin akan pecah dan intin membuat tabung serbuk sari (pollen tube) di kelapa putik sehingga di dalamnya mengandung dua inti yaitu inti tabung dan inti generatif. Inti generatif membelah menghasilkan dua inti sperma. Buluh serbuk memanjang menuju mikropil. Jika serbuk sari jatuh di sekitar bakal biji tentu proses berikutnya tidak akan terjadi yaitu pembuahan.

DAFTAR PUSTAKA 

Hidayat, Estiti B. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji. Penerbit ITB. Bandung.

Loveless, A.R. 1989. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik 2. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.

Nasution, Ahmad S. 2009. Pembungaan, Penyerbukan dan Pembuahan Tanaman.