Rabu, 26 Oktober 2011

Summary 2

KONSERVASI PADA TINGKAT POPULASI DAN SPESIES

Mempertahankan Keanekaragaman Genetik dan Arena Lingkungan untuk Evolusi adalah Suatu Tujuan Akhir

By : Dece Elisabeth Sahertian
Keanekaragaman Genetik
Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati adalah pusat dari biologi konservasi, tetapi frase keanekaragaman hayati (biodiversitas) dapat mempunyai arti yang berbeda. Keanekaragaman hayati dapat digolongkan menjadi tiga tingkat: (1) Keanekaragaman spesies. Semua spesies di bumi, termasuk bakteri dan protista serta spesies dari Kingdom bersel banyak (tumbuhan, jamur, hewan, yang bersel banyak atau multiseluler), (2) Keanekaragaman genetik. Variasi genetika dalam dalam satu spesies, baik di antara populasi-populasi yang berpisah secara geografis, maupun di antara individu-individu dalam satu populasi, (3) Keanekaragaman komunitas. Komunitas biologi yang berbeda serta asosiasinya dengan lingkungan fisik (ekosistem) masing-masing (Indrawan dkk, 2007).

Ketiga tingkatan keanekaragaman hayati itu diperlukan untuk kelanjutan kelangsungan hidup di bumi dan penting bagi manusia. Keanekaragaman spesies menggambarkan seluruh cakupan adaptasi ekologi, serta menggambarkan evolusi spesies terhadap lingkungan tertentu. Keanekaragaman genetik memungkinkan spesies untuk memelihara daya reproduksinya, tahan penyakit dan beradaptasi terhadap perubahan kondisi. Pada tumbuhan dan hewan yang telah didomestikasi (dibudidayakan), keanekaragaman genetik memberikan nilai khusus bagi program pengembangbiakan yang diperlukan, khususnya memperbaiki dan menyokong spesies pertanian modern yang tahan penyakit. Tingkat keanekaragaman komunitas merupakan tanggapan bersama oleh spesies terhadap kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Komunitas biologi yang khas dan unik, baik di padang pasir, padang rumput, lahan basah, ataupun hutan telah mendukung ekosistem untuk berfungsi secara benar dan berkelanjutan (Indrawan dkk, 2007).  

Konservasi Sebagai Solusi
Tujuan jangka panjang konservasi keanekaragaman hayati harus dapat menjamin kelestarian fungsi ekosistem esensial sebagai penyangga kehidupan terutama di luar kawasan konservasi. Pada tingkat spesies, konservasi dalam jangka panjang bertujuan untuk mencegah terjadinya kepunahan jenis yang diakibatkan oleh penyebab utama terancamnya jenis dari kepunahan yaitu kerusakan habitat dan pemanfaatan (termasuk perdagangan) yang tidak terkendali. Bagi jenis-jenis yang populasinya sudah dalam kondisi kritis maka pengelolaannya harus diarahkan pada pemulihan populasi (population recovery) dengan berbagai cara termasuk perbaikan habitat, rehabilitasi satwa hasil sitaan serta penangkaran untuk dilepas kembali ke alam (conservation breeding). Pada tingkat genetik, konservasi keanekaragaman genetik diarahkan pada konservasi in-situ di dalam dan di luar konservasi maupun konservasi eks-situ. Arah pengelolaan sumber daya genetik di masa depan adalah pemanfaatan sumber daya genetik untuk mendukung pengembangan budidaya tanaman maupun ternak melalui pengembangan kultivar-kultivar unggul. 

Konservasi in-situ adalah kondisi sumber daya genetik yang terdapat di dalam ekosistem dan habitat alami serta pemeliharaan dan pemulihan populasi jenis-jenis berdaya hidup dalam lingkungan alaminya, dan dalam hal jenis-jenis terdomestikasi atau budidaya, di dalam lingkungan tempat sifat-sifat khususnya berkembang. Konservasi in-situ biasanya berwujud cagar alam. Salah satu contoh konservasi in-situ di Indonesia adalah Taman Nasional Ujung Kulon. Taman nasional ini dinilai WWF telah berhasil melakukan konservasi in-situ karena dapat mengontrol jumlah populasi badak jawa. Menurut WWF (2006), populasi badak di Jawa masih bisa terus berkembang. Adanya temuan foto pada Juli 2006 yang menggambarkan induk badak bersama anaknya memberikan harapan bahwa populasinya masih terus berkembang. Gambar-gambar tersebut tertangkap oleh salah satu kamera intai dari total 26 kamera intai yang dipasang di Taman Nasional Ujung Kulon. Temuan gambar anak Badak Jawa tersebut - didentifikasi dari foto kamera intai dan ukuran jejak kaki - memberikan harapan baru dan dorongan untuk upaya konservasi bagi mamalia besar ini. Kita meyakini bahwa ini waktu yang tepat untuk menggiatkan kembali upaya-upaya kita untuk menyelamatkan masa depan Badak Jawa. 

Konservasi eks-situ dapat juga dilakukan secara in-vitro dengan memanfaatkan teknik kultur jaringan.Teknik ini digunakan untuk penyimpanan plasma nutfah dalam jangka panjang dalam jumlah sampai dengan 10 botol setiap aksesi. Hal yang perlu diperhatikan dalam konservasi eks-situ adalah rejuvenasi (peremajaan). Pada konservasi dengan penyimpanan benih pada jangka waktu tertentu, maka rejuvenasi diperlukan terhadap benih-benih yang telah mengalami penurunan vitabilitas. Rejuvenasi dapat dilakukan secara bergilir atau berkala 2-3 tahun sekali, tergantung kepada komoditas dan keadaan. Tentunya rejuvenasi dimaksudkan untuk memperoleh benih yang baru. Pada pelestarian tanaman semusim di lapang (yang diperbanyak secara vegetatif; misalnya ubijalar dan ubikayu), maka rejuvenasi dilakukan segera setelah panen ( Wibowo, 2009).

Penyebab Konflik Manusia – Satwa Liar
Permasalahan gangguan terhadap lingkungan dan kerusakan sumber daya alam telah dan akan terus lahir seiring dengan pelaksanaan pembangunan. Aktivitas pembangunan yang dilakukan akan terus membutuhkan lahan dan sumberdaya yang mengakibatkan semakin banyak hutan-hutan alam yang dikonversi. Selain itu kemiskinan dan kebutuhan untuk memperbaiki tingkat perekonomian masyarakat juga akan semakin meningkatkan kerusakan hutan. Hutan yang rusak akan mengakibatkan bencana bagi manusia baik secara langsung ataupun tidak langsung. Konversi hutan  untuk keperluan ekonomi manusia telah mendorong terjadinya konflik antara manusia dan satwa. Satwa mengalami penurunan populasi yang sangat signifikan akibat aktivitas manusia. Berikut ini diuraikan beberapa penyebab konflik manusia dan satwa.

Deforestasi dan degradasi hutan yang sangat besar akan mengancam terhadap keanekaragaman hayati yang ada. Deforestasi dan degradasi akan menyebabkan hilangnya hutan atau terpotong-potongnya hutan menjadi bagian-bagian kecil dan terpisah. Alih fungsi hutan banyak digunakan untuk perkebunan, pertambangan, hutan tanaman industri, pemukiman, industri, dll. Investigasi Eyes on the Forest (2008) melaporkan bahwa pembuatan jalan logging oleh Asia Pulp & Paper (APP) sepanjang 45 km yang membelah hutan gambut di Senepis Propinsi Riau  mengakibatkan penyusutan luas hutan dan memicu peningkatan konflik manusia-harimau di kawasan tersebut. Pembuatan jalan untuk pengangkutan sawit oleh PT. Alno Agro Utama di kawasan konservasi gajah ditengarai akan mengganggu upaya konservasi gajah. Pembukaan jalan tersebut akan memudahkan kegiatan illegal hunting terhadap gajah dan harimau sumatera. Tahun 1989 jumlah populasi gajah sebanyak 475 ekor dan sekarang hanya tertinggal 100 ekor, sedangkan yang dipelihara pusat pelatihan gajah sebanyak 30 ekor yang 18 diantaranya sudah mati akibat perburuan. Data periode Desember-Juni 2009 setidaknya sudah 12 jerat harimau yang berhasil ditemukan di kawasan PLG yang berlokasi di dekat jalan tersebut. Pembuatan jalan di areal hutan juga akan membatasi ruang gerak satwa liar, sehingga akan membatasi satwa dalam mencari mangsa. Perusakan habitat dan perburuan hewan mangsa telah diketahui sebagai faktor utama yang menyebabkan turunnya jumlah harimau secara dramatis di Asia.

Perburuan ilegal (illegal hunting) merupakan salah satu ancaman terhadap kelestarian satwa liar. Pada periode 1970 – 1993 tercatat sebanyak 3.994 kg tulang harimau sumatera diekspor dari Indonesia ke Korea Selatan. Bagian tubuh harimau yang diperjualbelikan terutama kulit dan tulang untuk keperluan obat-obatan tradisional bahkan untuk keperluan supranatural (Mills & Jackson, 1994 dalam Siregar, 2010). Selain bagian tubuhnya, harimau sumatera juga diperjualbelikan sebagai hewan peliharaan dan simbol status. Perdagangan satwa liar seperti macan dahan yang digunakan untuk kebutuhan  budaya dan ritual dan beruang madu untuk obat berkhasiat. Pembukaan infrastruktur jalan turut mendorong semakin terbukanya akses terhadap hutan bagi para pemburu liar. Selain itu tingginya demand satwa liar juga akan semakin meningkatkan kegiatan perburuan dan perdagangan satwa illegal (Shiel et al.,2003 dalam Siregar, 2010).

Banyaknya kasus masuknya satwa liar seperti gajah dan harimau yang masuk ke pemukiman penduduk akan meningkatkan konflik terbuka. Banyaknya kerusakan yang ditimbulkan oleh satwa liar terhadap harta milik masyarakat bakhan jiwa akan semakin menimbulkan dendam masyarakat untuk membunuh satwa liar. Kondisi ini akan semakin membahayakan satwa liar.

Kemiskinan masyarakat di sekitar hutan telah mendorong terjadinya perambahan dan perusakan hutan berupa pembukaan hutan untuk keperluan pemukiman, perladangan, dan perkebunan. Kerusakan dan fragmentasi hutan yang merupakan habitat satwa akan mengakibatkan gangguan terhadap kelestarian satwa. Selain itu masyarakat juga menggantungkan hidup pada sumberdaya hutan. Secara tradisional masyarakat memburu satwa yang merupakan mangsa harimau untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Kemiskinan mendorong masyarakat memburu satwa liar untuk kebutuhan makannya dan juga untuk dijual. Sebagian besar masyarkat asli di Kalimantan mengandalkan asupan proteinnya dari berburu satwa liar dan terutama vertebtara. Selain itu juga perburuan satwa-satwa kecil yang merupakan mangsa satwa liar seperti harimau sangat berpengaruh terhadap kelestarian harimau. Karena harimau sangat tergantung dengan kelimpahan mangsanya (Puri,1997 dalam Siregar, 2010).

Beberapa satwa liar seperti harimau dalam struktur piramida makanan merupakan top predator. Satwa predator ini setiap hari harus mengkonsumsi 5 – 6 kg daging yang sebagian besar (75%) terdiri atas hewan-hewan mangsa dari golongan rusa.  Pakan utama harimau sumatera adalah rusa sambar (Cervus unicolor) dan babi hutan (Sus scorfa). Dalam keadaan tertentu harimau sumatera juga memangsa berbagai alternatif mangsa seperti kijang (Muntiacus muntjac), kancil (Tragulus sp), beruk (Macaca nemestrina), landak (Hystrix brachyura), trenggiling (Manis javanica), beruang madu (Helarctos malayanus), dan kuau raja (Argusianus argus). Tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan juga akan mengakibatkan penurunan mangsa harimau sumatera. Semakin sedikitnya mangsa juga akan mengakibatkan penurunan populasi harimau sumatera. Dengan semakin sedikitnya mangsa, maka harimau akan semakin jauh mencari mangsa dan akan semakin besar peluang konflik dengan manusia (Wibowo, 2009).

Konservasi Sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Satwa Liar
Untuk mengendalikan konflik manusia-satwa, maka konservasi merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan kelestarian satwa, khususnya gajah dan harimau. Karena kedua satwa tersebut dikategorikan oleh lembaga konservasi International Union Conservation Nature (IUCN) sebagai satwa yang Sangat Kritis Terancam Punah (critically endangered). Selain itu kedua satwa itu juga termasuk dalam CITES Appendix I yang artinya pelarangan terhadap perdagangan internasional komersial. Beberapa upaya tersebut adalah sebagai berikut : (1) Membangun dan meningkatkan koneksitas antara habitat-habitat utama gajah dan harimau melalui pengembangan koridor dalam rangka memperluas daerah bagi harimau sumatera untuk menjelajah, (2) Membina kekayaan genetik unit-unit populasi gajah dan harimau, terutama pada habitat yang kritis untuk menghindari erosi ragam genetik melalui pengembangan restocking populasi dan translokasi, (3) Mengembangkan upaya pengelolaan mitigasi konflik untuk menyelamatkan gajah dan harimau yang bermasalah dengan masyarakat melalui relokasi, translokasi, dan penetapan kawasan pelepasliaran alami, (4) Meningkatkan program pemantauan terhadap populasi, ekologi, dan habitat gajah dan harimau dengan memperkuat dasar hukum dan kapasitas aparatur yang berwenang, (5) Meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dengan melaksanakan berbagai program peningkatan kapasitas tim konservasi gajah dan harimau baik yang dikelola oleh pemerintah, lembaga non pemerintah, maupun masyarakat, (6) Memperkuat infrastrukur instansi yang melakukan pelaksanaan dan pemantauan konservasi harimau. Selain itu juga dilakukan penyusunan rencana pengelolaan konservasi pada setiap bentang alam harimau sumatera sesuai dengan karakteristik dan potensi di lapangan, (7) Mengembangkan pusat informasi terpadu tentang konservasi gajah dan harimau yang dapat diakses secara luas oleh masyarakat, (8) Membangun jaringan komunikasi dan kemitraan untuk meningkatkan kerjasama konservasi di semua tingkatan baik lokal, nasional, maupun internasional, (9) Mengembangkan pengawasan terpadu dan intensif antara pemerintah, lembaga non pemerintah, dan masyarakat terhadap kegiatan konservasi. Selain itu juga dilakukan pendidikan dan penyadartahuan masyarakat secara terpadu dan berkesinambungan tentang pentingnya konservasi gajah dan harimau, (10) Membangun mekanisme pendanaan yang berkelanjutan dalam mendukung kegiatan konservasi gajah dan harimau (Wibowo, 2009).

Daftar Pustaka
Indrawan, M., R. B. Primack & J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi, Edisi Revisi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Siregar, P. 2010. Konservasi : Sebagai Upaya Mencegah Konflik Manusia – Satwa.      www. wordpress. com. (11 Desember 2010)

Wibowo, P. H. 2009. Populasi Manusia Dan Pengendalian Untuk Kesejahteraan Masyarakat. www. yahoo.com. (11 Desember 2010).

 13/12/2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar