KONSERVASI
PADA TINGKAT POPULASI DAN SPESIES
Mempertahankan Keanekaragaman Genetik dan Arena Lingkungan untuk Evolusi adalah Suatu Tujuan Akhir
By : Dece Elisabeth Sahertian
Keanekaragaman
Genetik
Perlindungan terhadap keanekaragaman
hayati adalah pusat dari biologi konservasi, tetapi frase keanekaragaman hayati
(biodiversitas) dapat mempunyai arti yang berbeda. Keanekaragaman hayati dapat
digolongkan menjadi tiga tingkat: (1) Keanekaragaman spesies. Semua spesies di
bumi, termasuk bakteri dan protista serta spesies dari Kingdom bersel banyak
(tumbuhan, jamur, hewan, yang bersel banyak atau multiseluler), (2) Keanekaragaman
genetik. Variasi genetika dalam dalam satu spesies, baik di antara
populasi-populasi yang berpisah secara geografis, maupun di antara
individu-individu dalam satu populasi, (3) Keanekaragaman komunitas. Komunitas
biologi yang berbeda serta asosiasinya dengan lingkungan fisik (ekosistem)
masing-masing (Indrawan dkk, 2007).
Ketiga tingkatan keanekaragaman hayati
itu diperlukan untuk kelanjutan kelangsungan hidup di bumi dan penting bagi
manusia. Keanekaragaman spesies menggambarkan seluruh cakupan adaptasi ekologi,
serta menggambarkan evolusi spesies terhadap lingkungan tertentu. Keanekaragaman
genetik memungkinkan spesies untuk memelihara daya reproduksinya, tahan
penyakit dan beradaptasi terhadap perubahan kondisi. Pada tumbuhan dan hewan
yang telah didomestikasi (dibudidayakan), keanekaragaman genetik memberikan
nilai khusus bagi program pengembangbiakan yang diperlukan, khususnya
memperbaiki dan menyokong spesies pertanian modern yang tahan penyakit. Tingkat
keanekaragaman komunitas merupakan tanggapan bersama oleh spesies terhadap
kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Komunitas biologi yang khas dan unik,
baik di padang pasir, padang rumput, lahan basah, ataupun hutan telah mendukung
ekosistem untuk berfungsi secara benar dan berkelanjutan (Indrawan dkk, 2007).
Konservasi
Sebagai Solusi
Tujuan jangka panjang konservasi
keanekaragaman hayati harus dapat menjamin kelestarian fungsi ekosistem
esensial sebagai penyangga kehidupan terutama di luar kawasan konservasi. Pada
tingkat spesies, konservasi dalam jangka panjang bertujuan untuk mencegah
terjadinya kepunahan jenis yang diakibatkan oleh penyebab utama terancamnya
jenis dari kepunahan yaitu kerusakan habitat dan pemanfaatan (termasuk
perdagangan) yang tidak terkendali. Bagi jenis-jenis yang populasinya sudah
dalam kondisi kritis maka pengelolaannya harus diarahkan pada pemulihan
populasi (population recovery) dengan
berbagai cara termasuk perbaikan habitat, rehabilitasi satwa hasil sitaan serta
penangkaran untuk dilepas kembali ke alam (conservation
breeding). Pada tingkat genetik, konservasi keanekaragaman genetik
diarahkan pada konservasi in-situ di
dalam dan di luar konservasi maupun konservasi eks-situ. Arah pengelolaan sumber daya genetik di masa depan adalah
pemanfaatan sumber daya genetik untuk mendukung pengembangan budidaya tanaman
maupun ternak melalui pengembangan kultivar-kultivar unggul.
Konservasi in-situ adalah kondisi sumber daya genetik yang terdapat di dalam
ekosistem dan habitat alami serta pemeliharaan dan pemulihan populasi
jenis-jenis berdaya hidup dalam lingkungan alaminya, dan dalam hal jenis-jenis
terdomestikasi atau budidaya, di dalam lingkungan tempat sifat-sifat khususnya
berkembang. Konservasi in-situ
biasanya berwujud cagar alam. Salah satu contoh konservasi in-situ di Indonesia adalah Taman Nasional Ujung Kulon. Taman
nasional ini dinilai WWF telah berhasil melakukan konservasi in-situ karena dapat mengontrol jumlah
populasi badak jawa. Menurut WWF (2006), populasi badak di Jawa masih bisa
terus berkembang. Adanya temuan foto pada Juli 2006 yang menggambarkan induk
badak bersama anaknya memberikan harapan bahwa populasinya masih terus
berkembang. Gambar-gambar tersebut tertangkap oleh salah satu kamera intai dari
total 26 kamera intai yang dipasang di Taman Nasional Ujung Kulon. Temuan
gambar anak Badak Jawa tersebut - didentifikasi dari foto kamera intai dan
ukuran jejak kaki - memberikan harapan baru dan dorongan untuk upaya konservasi
bagi mamalia besar ini. Kita meyakini bahwa ini waktu yang tepat untuk
menggiatkan kembali upaya-upaya kita untuk menyelamatkan masa depan Badak Jawa.
Konservasi eks-situ dapat juga dilakukan secara in-vitro dengan memanfaatkan teknik kultur jaringan.Teknik ini
digunakan untuk penyimpanan plasma nutfah dalam jangka panjang dalam jumlah
sampai dengan 10 botol setiap aksesi. Hal yang perlu diperhatikan dalam
konservasi eks-situ adalah rejuvenasi
(peremajaan). Pada konservasi dengan penyimpanan benih pada jangka waktu
tertentu, maka rejuvenasi diperlukan terhadap benih-benih yang telah mengalami
penurunan vitabilitas. Rejuvenasi dapat dilakukan secara bergilir atau berkala
2-3 tahun sekali, tergantung kepada komoditas dan keadaan. Tentunya rejuvenasi
dimaksudkan untuk memperoleh benih yang baru. Pada pelestarian tanaman semusim
di lapang (yang diperbanyak secara vegetatif; misalnya ubijalar dan ubikayu),
maka rejuvenasi dilakukan segera setelah panen ( Wibowo, 2009).
Penyebab
Konflik Manusia – Satwa Liar
Permasalahan
gangguan terhadap lingkungan dan kerusakan sumber daya alam telah dan akan
terus lahir seiring dengan pelaksanaan pembangunan. Aktivitas pembangunan yang
dilakukan akan terus membutuhkan lahan dan sumberdaya yang mengakibatkan
semakin banyak hutan-hutan alam yang dikonversi. Selain itu kemiskinan dan
kebutuhan untuk memperbaiki tingkat perekonomian masyarakat juga akan semakin
meningkatkan kerusakan hutan. Hutan yang rusak akan mengakibatkan bencana bagi
manusia baik secara langsung ataupun tidak langsung. Konversi hutan untuk
keperluan ekonomi manusia telah mendorong terjadinya konflik antara manusia dan
satwa. Satwa mengalami penurunan populasi yang sangat signifikan akibat
aktivitas manusia. Berikut ini diuraikan beberapa penyebab konflik manusia dan
satwa.
Deforestasi
dan degradasi hutan yang sangat besar akan mengancam terhadap keanekaragaman
hayati yang ada. Deforestasi dan degradasi akan menyebabkan hilangnya hutan
atau terpotong-potongnya hutan menjadi bagian-bagian kecil dan terpisah. Alih
fungsi hutan banyak digunakan untuk perkebunan, pertambangan, hutan tanaman
industri, pemukiman, industri, dll. Investigasi Eyes on the Forest (2008)
melaporkan bahwa pembuatan jalan logging oleh Asia Pulp & Paper
(APP) sepanjang 45 km yang membelah hutan gambut di Senepis Propinsi Riau
mengakibatkan penyusutan luas hutan dan memicu peningkatan konflik
manusia-harimau di kawasan tersebut. Pembuatan jalan untuk pengangkutan sawit
oleh PT. Alno Agro Utama di kawasan konservasi gajah ditengarai akan mengganggu
upaya konservasi gajah. Pembukaan jalan tersebut akan memudahkan kegiatan illegal
hunting terhadap gajah dan harimau sumatera. Tahun 1989 jumlah populasi
gajah sebanyak 475 ekor dan sekarang hanya tertinggal 100 ekor, sedangkan yang
dipelihara pusat pelatihan gajah sebanyak 30 ekor yang 18 diantaranya sudah
mati akibat perburuan. Data periode Desember-Juni 2009 setidaknya sudah 12
jerat harimau yang berhasil ditemukan di kawasan PLG yang berlokasi di dekat
jalan tersebut. Pembuatan jalan di areal hutan juga akan membatasi ruang gerak
satwa liar, sehingga akan membatasi satwa dalam mencari mangsa. Perusakan
habitat dan perburuan hewan mangsa telah diketahui sebagai faktor utama yang
menyebabkan turunnya jumlah harimau secara dramatis di Asia.
Perburuan
ilegal (illegal hunting) merupakan salah satu ancaman terhadap
kelestarian satwa liar. Pada periode 1970 – 1993 tercatat sebanyak 3.994 kg
tulang harimau sumatera diekspor dari Indonesia ke Korea Selatan. Bagian tubuh
harimau yang diperjualbelikan terutama kulit dan tulang untuk keperluan
obat-obatan tradisional bahkan untuk keperluan supranatural (Mills &
Jackson, 1994 dalam Siregar,
2010). Selain bagian tubuhnya, harimau
sumatera juga diperjualbelikan sebagai hewan peliharaan dan simbol status. Perdagangan
satwa liar seperti macan dahan yang digunakan untuk kebutuhan budaya dan
ritual dan beruang madu untuk obat berkhasiat. Pembukaan infrastruktur jalan
turut mendorong semakin terbukanya akses terhadap hutan bagi para pemburu liar.
Selain itu tingginya demand satwa liar juga akan semakin meningkatkan
kegiatan perburuan dan perdagangan satwa illegal (Shiel et al.,2003 dalam Siregar, 2010).
Banyaknya
kasus masuknya satwa liar seperti gajah dan harimau yang masuk ke pemukiman
penduduk akan meningkatkan konflik terbuka. Banyaknya kerusakan yang
ditimbulkan oleh satwa liar terhadap harta milik masyarakat bakhan jiwa akan
semakin menimbulkan dendam masyarakat untuk membunuh satwa liar. Kondisi ini
akan semakin membahayakan satwa liar.
Kemiskinan
masyarakat di sekitar hutan telah mendorong terjadinya perambahan dan perusakan
hutan berupa pembukaan hutan untuk keperluan pemukiman, perladangan, dan
perkebunan. Kerusakan dan fragmentasi hutan yang merupakan habitat satwa akan
mengakibatkan gangguan terhadap kelestarian satwa. Selain itu masyarakat juga
menggantungkan hidup pada sumberdaya hutan. Secara tradisional masyarakat
memburu satwa yang merupakan mangsa harimau untuk memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat. Kemiskinan mendorong masyarakat memburu satwa liar untuk kebutuhan
makannya dan juga untuk dijual. Sebagian besar masyarkat asli di Kalimantan
mengandalkan asupan proteinnya dari berburu satwa liar dan terutama vertebtara.
Selain itu juga perburuan satwa-satwa kecil yang merupakan mangsa satwa liar
seperti harimau sangat berpengaruh terhadap kelestarian harimau. Karena harimau
sangat tergantung dengan kelimpahan mangsanya (Puri,1997 dalam Siregar, 2010).
Beberapa
satwa liar seperti harimau dalam struktur piramida makanan merupakan top
predator. Satwa predator ini setiap hari harus mengkonsumsi 5 – 6 kg daging
yang sebagian besar (75%) terdiri atas hewan-hewan mangsa dari golongan rusa.
Pakan utama harimau sumatera adalah rusa sambar (Cervus unicolor) dan
babi hutan (Sus scorfa). Dalam keadaan tertentu harimau sumatera juga
memangsa berbagai alternatif mangsa seperti kijang (Muntiacus muntjac), kancil
(Tragulus sp), beruk (Macaca nemestrina), landak (Hystrix
brachyura), trenggiling (Manis javanica), beruang madu (Helarctos
malayanus), dan kuau raja (Argusianus argus). Tingginya laju
deforestasi dan degradasi hutan juga akan mengakibatkan penurunan mangsa
harimau sumatera. Semakin sedikitnya mangsa juga akan mengakibatkan penurunan
populasi harimau sumatera. Dengan semakin sedikitnya mangsa, maka harimau akan
semakin jauh mencari mangsa dan akan semakin besar peluang konflik dengan
manusia (Wibowo, 2009).
Konservasi
Sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Satwa Liar
Untuk
mengendalikan konflik manusia-satwa, maka konservasi merupakan salah satu upaya
untuk mempertahankan kelestarian satwa, khususnya gajah dan harimau. Karena
kedua satwa tersebut dikategorikan oleh lembaga konservasi International
Union Conservation Nature (IUCN) sebagai satwa yang Sangat Kritis Terancam
Punah (critically endangered). Selain itu kedua satwa itu juga termasuk
dalam CITES Appendix I yang artinya pelarangan terhadap perdagangan
internasional komersial. Beberapa upaya tersebut adalah sebagai berikut : (1) Membangun
dan meningkatkan koneksitas antara habitat-habitat utama gajah dan harimau
melalui pengembangan koridor dalam rangka memperluas daerah bagi harimau
sumatera untuk menjelajah, (2) Membina kekayaan genetik unit-unit populasi
gajah dan harimau, terutama pada habitat yang kritis untuk menghindari erosi
ragam genetik melalui pengembangan restocking populasi dan translokasi,
(3) Mengembangkan upaya pengelolaan mitigasi konflik untuk menyelamatkan gajah
dan harimau yang bermasalah dengan masyarakat melalui relokasi, translokasi,
dan penetapan kawasan pelepasliaran alami, (4) Meningkatkan program pemantauan
terhadap populasi, ekologi, dan habitat gajah dan harimau dengan memperkuat
dasar hukum dan kapasitas aparatur yang berwenang, (5) Meningkatkan kapasitas
sumberdaya manusia dengan melaksanakan berbagai program peningkatan kapasitas
tim konservasi gajah dan harimau baik yang dikelola oleh pemerintah, lembaga non
pemerintah, maupun masyarakat, (6) Memperkuat infrastrukur instansi yang
melakukan pelaksanaan dan pemantauan konservasi harimau. Selain itu juga
dilakukan penyusunan rencana pengelolaan konservasi pada setiap bentang alam
harimau sumatera sesuai dengan karakteristik dan potensi di lapangan, (7) Mengembangkan
pusat informasi terpadu tentang konservasi gajah dan harimau yang dapat diakses
secara luas oleh masyarakat, (8) Membangun jaringan komunikasi dan kemitraan
untuk meningkatkan kerjasama konservasi di semua tingkatan baik lokal,
nasional, maupun internasional, (9) Mengembangkan pengawasan terpadu dan
intensif antara pemerintah, lembaga non pemerintah, dan masyarakat terhadap
kegiatan konservasi. Selain itu juga dilakukan pendidikan dan penyadartahuan
masyarakat secara terpadu dan berkesinambungan tentang pentingnya konservasi
gajah dan harimau, (10) Membangun mekanisme pendanaan yang berkelanjutan dalam
mendukung kegiatan konservasi gajah dan harimau (Wibowo, 2009).
Daftar
Pustaka
Indrawan,
M., R. B. Primack & J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi, Edisi Revisi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar